PENGERTIAN KEBEBASAN BERAGAMA

Pengertian Kebebasan Beragama dan Landasan Hukum 
Peristiwa ketegangan umat intra-umat beragama dan antar-umat beragama senantiasa menghiasi perjalanan bangsa Indonesia ini. Sudah banyak konflik terjadi satu dasa warsa terakhir. Korban tewas dalam konflik sudah tak terbilang. Rumah-rumah peribadatan hancur, sebagian hangus dibakar, sebagian luluh lantak dirobohkan dan sebagian lainya rusak oleh amuk massa yang terbakar api kemarahan bersentimen keagamaan. Berita-berita semacam ini acapkali kita dengar melalui berita media massa maupun media elektronik.
Belakangan tiga pristiwa penting dalam konflik berbau agama muncul menyusul dikeluarkannya 11 fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dua diantara fatwa itu sangat krusial karena menyangkut masalah pelabelan dan penilaian “Sesat Dan Menyesatkan” atas aliran Ahmadiyah dan pelarangan atas paham-paham seperti Skularisme, Pluralism dan Libralisme. Ekses dan efek domino dari fatwa itu menyalut kerusuhan di kampus Mubarak milik Ahmadiyah di Parung, Bogor. Sekolompok muslim menyerbu kampus Mubarak, menurunkan papan nama Ahmadiyah dan mengobarkan yel-yel yang menuntut pembubaran salah satu aliran keagamaan dalam Islam ini. bersamaan dengan itu, konflik antara muslim dengan non muslim, utamanya umat Kristen. Penggerebekan atas sejumlah gereja terjadi di kota Bandung, Jawa Barat dan Sukhoharjo, Jawa Tengah. Alasan penggerebekan itu berangkat dari masalah yang sama, yakni penyalahgunaan rumah tinggal untuk penyelenggarakan peribadatan. Dijumpai beberapa bangunan yang pada asalnya adalah rumah tingal biasa kemudian beralih peruntukkanya menjadi gereja. Semua peristiwa kekerasan yang mengatasnamakan agama diatas berawal dari salah paham arti dari kebebasan beragama dan ruang lingkup dari hak untuk bebas beragama atau berkepercayaan.
Kebebasan beragama dan berkepercayaan adalah hak yang tidak diciptakan oleh masyarakat atau negara, melainkan suatu anugrah yang dimiliki oleh setiap individu atau kelompok keagamaan atau kepercayaan melalui hakikat kemanusiaanya. Meski demikian, kebebasan ini terus menerus menjadi wacana sekaligus praktik yang memperoleh tempat dalam banyak diskusi dan penelitian kontemporer. Perdebatan antara pro dan kontra salah satunya, berpusat pada kata “Kebebasan” yang disandarkan pada agama atau kepercayaan. Karena itu, hak untuk bebas beragama atau berkepercayaan membutuhkan penjelasan tentang definisi, sejauh mana ruang lingkupnya, apa norma-norma dan batasan-batasanya. Menurut Zakiyuddin, kebebasan beragama atau berkepercayaan dapat di definisikan meliputi dua kategori sebagai berikut. Pertama, kebebasan beragama: Perbedaan dan keragaman agama-agama (al-Milal) yang hidup bersama dan berdampingan (Live Together) tercangkup dalam definisi kebebasan beragama. Agama-agama, apakah yang disebut agama monotheisthik seperti Yahudi, Kristen dan Islam atau agama-agama nonmonotheisthik seperti Manicheanisme, Zoroaster dan Hindu, atau agama-agama barat maupun timur seperti Tao, Kong Hucu, serta agama-agama asli seperti Animisme, memiliki hak yang sama untuk hidup dan tumbuh berkembang dalam kehidupan masyarakat manusia. Kedua, kebebasan berkepercayaan: kepercayaan-kepercayaan (al-Nih-Al) adalah istilah yang merujuk kepada pandangan hidup-pandangan hidup (Life stances) atau posisi-posisi nonkeagamaan atau sekuler yang tercangkup dalam non keagamaan atau sekuler yang tercangkup dalam kebebasan berkepercayaan. Humanism misalnya, menggambarkan pandangan hidup nonkeagamaan.[2] Sedangkan Syamsul Arifin, mengatakan bahwa pengertian agama dibagi secara dua pengertian yaitu Eksklusif dan Inklusif. Dalam pengertian yang Inklusif, agama tidak hanya mencangkup sistem-sistem yang teistik yang menekankan pada kepercayaan pada hal-hal yang bersifat supranatural, tetapi juga berbagai sistem kepercayaan nonteistik seperti Komunisme, Nasionalisme atau Humanism. Sedangkan dalam pengertian Eksklusif, agama hanya dibatasi pada sistem-sistem teistik, yakni yang memiliki seperangkat kepercayaan dan ritual. Elemen ini terorganisasi secara sosial dan diberlakukan oleh anggota-anggota suatu masyarakat atau beberapa segmen suatu masyarakat. Dengan demikian, pemikiran- pemikiran pribadi bukan merupakan agama sepanjang pemikiran itu bersifat pribadi dan tidak termasuk ke dalam sekumpulan doktrin dan ritual yang lebih besar (Pemikiran tersebut bisa saja bersifat religious, tetapi tidak merupakan agama).[3] 
Sedangkan landasan hukum tentang kebebasan beragama tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 yaitu:
a)      Pasal 28 E
1.  Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya...
2. Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
b)      Pasal 28 I
1.      Hak beragama adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
2.      Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
c)      Pasal 29
1. Negara berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa.
2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Undang-Undang No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia
d)     Pasal 22
1. Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
2. Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Negara harus menjamin:
a.       Bahwa hak ini dilaksanakan tanpa diskriminasi apa pun, dan
b.      Hak yang sama antara laki-laki dan perempuan untuk menikmati hak ini.
e)      Pasal 4
Hak beragama adalah Hak Asasi Manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.
UU No.12/2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik Mengesahkan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik) dengan Declaration (Pernyataan) terhadap Pasal 1 (pasal 1, ayat 1). Dengan pengesahan Kovenan ini, maka Kovenan ini mengikat Indonesia secara hukum.
Hukum Internasional
Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik
a).  Pasal 18
1.      Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan, dan pengajaran.
2.      Tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.
3.      Kebebasan menjalankan dan menentukan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum, dan yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain.
4.      Negara Peserta dalam Kovenan ini berjanji untuk menghormati kebebasan orang tua dan apabila diakui, wali hukum yang sah, untuk memastikan bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka sendiri.
Negara harus menjamin:
a.       Bahwa hak ini dilaksanakan tanpa diskriminasi apa pun.
b.      Hak yang sama antara laki-laki dan perempuan untuk menikmati hak ini.
b).  Pasal 4
2.      Pengurangan kewajiban atas pasal, 18 sama sekali tidak dapat dibenarkan berdasarkan ketentuan ini.[4]  
Norma-Norma Kebebasan Beragama 
Banyak norma yang bisa diidentifikasikan sebagai terlibat dalam penyusunan hak dan kebebasan beragama. Hal ini merupakan persoalan kompleks karena menyangkut keragaman konteks dan kebutuhan historis cultural yang berbeda-beda serta lembaga-lembaga kemasyarakatan yang memberikan konstribusi di dalamnya juga mempergunakan berbagai macam cara. Norma-norma ini pada akhirnya dapat diberlakukan secara universal setelah melalui proses pembahasan dan kesepakatan yang disetujui secara bersama-sama oleh seluruh anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa. Serta kebebasan beragama atau kepercayaan, merupakan hak asasi manusia yang berlaku universal serta dibukukan dalam dalam instrument internasional HAM. Pada tingkat normative, sejak awal HAM sudah tampak jelas bahwa kebebasan beragama atau kepercayaan merupakan salah satu hak-hak fundamental yang utama. Muncul pertama kali sejak perang dunia ke II, hak tersebut telah dirumuskan dalam pasal 18 deklarasi hak-hak asasi manusia (The universal declaration of human rights) serta perjanjian internasional tentang hak-hak politik dan sipil. Tore Lindholm dalam studi agama mengatakan delapan norma tersebut sebagai berikut:
Pertama, Internal freedom (Kebebasan internal). Berdasarkan pada norma ini, setiap orang  dipandang memiliki kebebasan berfikir, berkesadaran dan beragama. Norma ini juga mengakui kebebasan setiap individu untuk memiliki, mengadopsi, mempertahankan atau mengubah agama dan kepercayaannya.
Kedua, External freedom (Kebebasan eksternal). Norma ini mengakui kebebasan mewujudkan kebebasan atau keyakinan dalam berbagai bentuk manifestasi seperti kebebasan dalam mengajaran, praktik, peribadatan dan ketaatan. Manifestasi kebebasan beragama dan berkepercayaan dapat dilaksanakan baik diwilayah pribadi dan publik. Kebebasan juga bisa dilakukan secara individual dan bersama-sama orang lain.
Ketiga, Noncoercion (Tanpa paksaan). Norma ini menekankan adanya kemerdekaan individu dari segala bentuk paksaan dalam mengadopsi suatu agama atau berkepercayaan. Dengan kata lain, setiap individu memiliki kebebasan memiliki suatu agama atau kepercayaan tanpa perlu dipaksa oleh siapa pun.
Keempat, Nondiscrimination (Tanpa diskriminasi) berdasarkan norma ini, negara berkewajiban menghargai dan memastikan bahwa seluruh individu di wilayah kekuasaan dan yurisdiksinya memperoleh jaminan kebebasan beragama atau berkepercayaan tanpa membedakan warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau kepercayaan, pandangan politik dan pandangan lainya, asal-usul bangsa, kekayaan dan status kelahiran.
Kelima, Rights of parent and guardian (Hak orang tua dan wali). Menurut norma ini, negara berkewajiban menghargai kebebasan orang tua dan para wali yang absah secara hukum untuk memastikan pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan kepercayaan mereka sendiri. Negara juga harus memberikan perlindungan atas hak-hak setiap anak untuk bebas beragama atau berkepercayaaan sesuai dengan kemampuan mereka sendiri.
Keenam, Corporate freedom and legal status (Kebebasan berkumpul dan memperoleh status hukum). Aspek penting kebebasan beragama atau berkepercayaan terutama dalam kehidupan kontemporer adalah adanya hak bagi komunitas keagamaan untuk mengorganisasikan diri atau membentuk asosiasi.
Ketujuh, Limits of permissible restrictions on external freedom (Pembatasan yang diperkenankan terhadap kebebasan eksternal). Kebebasan untuk mewujudkan atau mengekspresikan suatu agama atau kepercayaan dapat dikenai pembatasan oleh hukum dengan alasan ingin melindungi keselamatan umum, ketertiban, kesehatan, moral dan hak-hak dasar lainnya.
Kedelapan, Nonderogability. Negara tidak boleh mengurangi hak kebebasan beragama atau kepercayaan bahkan dalam situasi darurat sekalipun.[5]
Selain dari norma-norma yang telah ditetapkan dan diakui oleh dunia internasional, norma-norma yang lahir dari pemikiran pemikiran muslim juga banyak. Salah satunya norma yang dikeluarkan atau ditulis oleh Siti Musdah Mulia dalam artikelnya, menegaskan kembali tentang kencangkupan kebebasan beragama sebagai berikut: Pertama, kebebasan setiap warga negara untuk memilih agama atau menentukan agama dan kepercayaan yang dipeluk, serta kebebasan melaksanakan ibadah menurut agama dan kepercayaan masing-masing.
Kedua, kebebasan dan kemerdekaan menyebarkan agama, menjalankan misi atau berdakwah dengan syarat semua kegiatan penyebaran agama itu tidak menggunakan cara-cara kekerasan maupun paksaan secara langsung maupun tidak langsung. Demikian pula tidak mengeksploitasi kebodohan dan kemiskinan masyarakat atau bersifat merendahkan martabat manusia, sehingga tidak dibenarkan melakukan pemberian bantuan apapun, pemberian bahan makanan, pemberian beasiswa atau dana kemanusian kepada anak-anak dari keluarga miskin atau pelayanan kesehatan gratis dengan syarat harus masuk ke dalam agama tertentu.
Ketiga, kebebasan beragama seharusnya mencangkup pula kebebasan untuk berpindah agama, artinya berpindah pilihan dari satu pilihan agama tertentu ke agama lain. Setiap warga Negara berhak untuk memilih agama dan kepercayaan apa pun yang diyakininya dapat membawakannya kepada keselamatan dunia dan akhirat. Karena itu, berpindah agama hendaknya dipahami sebagai sebuah proses pencarian atau penemuan kesadaran baru dalam beragama.
Keempat, kebebasan beragama hendaknya juga mencangkup kebolehan perkawinan antara dua orang yang berbeda agama atau berbeda sekte atau berbeda faham keagamaan sepanjang perkawinan itu tidak mengandung unsur pemaksaan dan eksploitasi. Artinya, perkawinan itu bukan dilakukan untuk tujuan perdagangan perempuan dan anak perempuan (Trafficking in women and children) yang akhir-akhir ini menjadi isu global.
Kelima, kebebasan beragama hendaknya juga mencangkup kebebasan mempelajari ajaran agama manapun di lembaga-lembaga pendidikan formal, termasuk lembaga pendidikan milik pemerintahan. Konsekuensinya, setiap siswa atau mahasiswa berhak memilih atau menentukan agama mana yang akan dipelajarinya. Tidak boleh dibatasi hanya pada agama yang dianut oleh peserta didik. Demikian juga, kebebasan untuk memilih tidak mengikuti pelajaran agama tertentu. Akan tetapi, lembaga pendidikan dapat mewajibkan peserta didik untuk mengikuti pelajaran budi pekerti atau etika berdasarkan Pancasila, karena itu penting bagi pembentukan karakter warga negara yang baik.
Keenam, kebebasan beragama memungkinkan negara dapat menerima kehadiran sekte, paham dan aliran keagamaan baru sepanjang tidak menggangu ketentram umum dan tidak pula melakukan praktek-praktek yang melangar hukum, seperti perilaku kekerasan, penipuan atau pembodohan warga dengan kedok agama.
Ketujuh, kebebasan beragama mendorong lahirnya organisasi-organisasi keagamaan untuk maksud meningkatkan kesalehan warga, meningkatkan kualitas kecerdasan emosional dan spiritual berdasarkan ajaran agama tertentu selama tidak mengharuskan keimanan kepada suatu agama atau kepercayaan sebagai syarat. Konsekuensinya, negara atau otoritas keagamaan apapun tidak boleh membuat fatwa atau keputusan hukum lainnya yang menyatakan seseorang sebagai kafir, murtad atau berdosa. Atau member label terhadap suatu paham, sekte, aliran keagamaan atau kepercayaan tertentu sebagai paham sesat.
Kedelapan, kebebasan beragama mengharuskan negara bersikap dan bertindak adil pada semua penganut agama dan kepercayaan yang hidup di negara ini. Negara tidak boleh bersikap memihak kepada kelompok tertentu dan berbuat deskriminatif terhadap kelompok lainnya. Dalam konteks ini seharusnya tidak ada istilah mayoritas dan minoritas, juga tidak ada istilah penganut agama samawi dan non-samawi. Demikian juga tidak perlu ada agama induk dan agama sempalan. Jagan lagi ada istilah agama resmi atau tidak resmi atau diakui atau tidak diakui oleh pemerintah. Setiap warga negara mendapatkan hak kebebasannya dalam menentukan pilihan agamanya.[6]    
Sedangkan Nurcholis Madjid membicarakan norma kebebasan beragama atau berkepercayaan berdasarkan prinsip Islam, yang seharusnya dipandang sebagai pengakuan Islam terhadap kemajemukan. Al-Qur’an secara elegan memberikan jaminan terhadap isu kebebasan beragama atau kebebasan berkepercayaan. Berikut pernyataan Nurcholis Madjid sebagai berikut: prinsip kebebasan beragama ini menyangkut hal-hal yang cukup rumit, karena berkaitan dengan segi-segi emosional dan perasaan mendalam kehidupan kita. Pelaksanaan prinsip kebebasan beragama akan berjalan dengan baik jika masing-masing dari kita mampu mencegah kemenangan emosi atas pertimbangan akal yang sehat. Dan kemampuan itu mencangkup tingkat kedewasaan tertentu serta kemantapan kepada diri sendiri, baik pada tingkat individual maupun pada tingkat kolektif. Dalam al-Qur’an, prinsip kebebasan beragama itu dengan tegas dihubungkan dengan sikap tanpa emosi, pertimbangan akal sehat dan kemantapan kepada diri sendiri tersebut, karena percaya akan adanya kejelasan kriterium mana yang benar dan mana yang palsu: “Tidak ada paksaan dalam agama; Sungguh telah jelas (Perbedaan) kebenaran dari kepalsuan. Karena itu, barang siapa yang menolak tirani (al-Taghut) dan percaya kepada Tuhan, maka sebenarnya ia telah berpegang kepada tali yang amat kuat dan tidak akan putus. Allah maha mendengar lagi maha mengetahui”. (QS. al-Baqarah/ 2: 156).[7]
Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan dalam Kebijakan Pemerintah 
Ruang kebebasan beragama dewasa ini juga dipersempit dengan lahirnya peraturan-peraturan daerah bernuansah atau bermotif syariah. Muatan perda syariah ini bermacam-macam, dari mulai kewajiban shalat berjamaah bagi laki-laki hingga kewajiban memakai jilbab bagi perempuan. Dari waktu ke waktu, penerapan perda syariah menunjukkan grafik peningkatan yang cukup tinggi. Perda-perda syariah ini pada umumnya difasilitasi oleh fraksi partai-partai Islam di DPRD di daerah bersangkutan dengan dukungan atau desakan dari kelompok-kelompok garis keras. Di daerah seperti Sulawesi Selatan dan Sumatra Barat bahkan dibentuk komite Persiapan Penegakan Syariah Islam atau KPPSI yang menghimpun berbagai elemen gerakan. Di daerah lain, desakan penerapan syariah Islam selalu datang dari kalangan garis keras seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Front Pembela Islam (FPI) dan berbagai organisasi kelaskaran yang muncul dengan label Islam seperti Laskar Jihad, Laskar Jundullah, Laskar Fi Sabilillah, dan lain-lain yang dari namanya saja udah memberikan rasa cemas. Tak jarang fraksi-fraksi partai berhaluan kebangsaan pun dengan terpaksa ikut membidani lahirnya perda-perda Syariah tersebut, baik karena alasan mencari aman, takut dituduh anti-Islam atau karena alasan pragmatis kekuasaan. Kelompok-kelompok garis keras punya taktik jitu untuk menundukkan para penentang syariah yaitu menyebut mereka sebagai anti-Islam. Dan tuduhan itu sangat efektif karena menciptakan rasa takut di kalangan sebagian orang Islam. Mantan Amir Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Abu Bakar Ba’asyir bahkan pernah mengancam, “Jika pemberlakuan syariah Islam dihalang-halangi maka umat Islam wajib berjihad”, tegasnya seakan-akan semua orang Islam setuju dengan pandangannya.
Sedangkan kalangan Islam moderat yang memiliki visi kebangsaan menentang perda-perda syariah Islam. KH Abdurrahman Wahid menyebut perda-perda syariah yang banyak bermunculan akhir-akhir ini sebagai kudeta terhadap konstitusi.[8] Mantan ketua umum Muhammadiyah Prof. Dr. Ahmad Syafii Maa’rif menanggapi maraknya perda syariah yang cenderung diskriminatif, menegaskan bahwa pemerintah pusat harus mengintervensi perda-perda syariah karena konstitusi 1945 menjamin kebebasan beragama.[9] Syafii juga menyebutkan bahwa jika syariah Islam benar-benar diterapkan sebagai dasar hukum negara maka perpecahan tidak hanya terjadi antara kelompok Muslim dan non-Muslim tapi antara umat Islam sendiri.[10] Ahmad Syafii maarif, jelas tidak berlebihan. Salah satu reaksi atas lahirnya perda-perda Syariah adalah gagasan umat Kristiani menjadikan Manokwari, Papua Barat, sebagai kota Injil beberapa waktu lalu. Kemudian bergulir juga wacana untuk menerapkan perda Hindu di Bali, perda Kristen di Sulawesi Utara dan Nusa Tenggara Timur yang mayoritas penduduknya Nasrani. Menanggapi lahirnya perda-perda Agama ini ketua umum PB NU mensinyalir bahwa tanda-tanda disintegrasi bangsa sudah terlihat sebagai akaibat dari upaya penerapan hukum agama yang cendrung dipaksakan. 
Perda-perda tersebut berdampak pada kehidupan bermasyarakat, terutama kalangan non-Muslim terkena kewajiban untuk melaksanakan beberapa aspek dari perda syariah. Di kabupaten Cianjur, misalnya dilaporkan seorang Non-Muslim mengaku dipaksakan mengenakan jilbab di kantor setiap hari jum’at. Pemaksaan serupa juga menimpa seorang guru di sekolah negeri dan seorang siswi sebuah SMU. Bagi siswi yang menolak, orang tuanya diharuskan mengajukan permohonan dan pernyataan bahwa siswi tersebut adalah Non-Muslim. Jilbabisasi juga diberlakukan terhadap keturunan Tionghoa yang bekerja di kantor BCA Cianjur. Kalangan Non-Muslim tidak dilibatkan sama sekali dalam proses pengambilan keputusan penerapan syariah Islam di Cianjur, tetapi pada beberapa kasus ternyata konsep syariah Islam diberlakukan juga kepada kalangan Non-Muslim.[11]

Batasan-Batasan Kebebasan Beragama. 
Hak untuk bebas beragama atau berkepercayaan memiliki tugas yang sangat kompleks untuk melindungi agama dan potensi-potensinya untuk kebaikan. Sementara itu juga diperkenankan adanya pembatasan-pembatasan tertentu atas kebebasan ini dalam rangka menyaring akibat-akibat latennya yang cendrung negative. Pembatasan atas kebebasan beragama atau berkepercayaan utamanya bertujuan untuk menjaga lima hal: Menjaga keselamatan publik, menjaga tatanan publik, menjaga kesehatan publik, menjaga moral dan menjaga hak dan kebebasan orang lain.  
Tujuan pertama pembatasan atas kebebasan beragama atau berkepercayaan, yaitu menjaga keselamatan publik. Membuka kemungkinan diperolehkannya larangan-larangan tertentu secara terbatas atas manifestasi publik dari agama atau kepercayaan, seperti pertemuan-pertemuan, prosesi, seremonial keagamaan dan lain-lain, jika bahaya tertentu yang muncul mengancam keselamatan orang-orang baik kehidupan, integritas, kesehatan atau kepemilikan harta benda mereka. Contoh, kelompok-kelompok yang mengatasnamakan agama tertentu dengan misi-misi brutal dan penuh kekerasan, menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan termasuk melalui serangan-serangan, penculikan, terror, bom bunuh diri, dapat dilarang keberadaannya melalui keputusan-keputusan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah.  
Pembatasan atas manifestasi eksternal kebebasan beragama atau berkepercayaan juga berlaku untuk menjamin tatanan publik. Kebebasan untuk memanifestasikan agama atau berkepercayaan hanya dapat diizinkan atas alasan untuk menghindari kekacauan bagi tatanan publik. Dengan kata lain, pelarangan atas kebebasan memanifestasikan suatu agama atau kepercayaan diperlukan bagi koeksistensi dan kehidupan bersama semua umat manusia. Aturan untuk melarang muslimah memakai jilbab, memanjangkan jenggot bagi orang Budha dan sebagainya tidak dapat dibenarkan dalam agama karena itu merupakan simbol-simbol keagamaan yang tidak memberikan ancaman bagi masyarakat. 
Kepentingan untuk menjaga dan memelihara kesehatan umum dapat menjadi dasar bagi pembatasan kebebasan beragama. Sebagai contoh, larangan atas praktik pemotongan alat kelamin perempuan yang dilakukan oleh kebudayaan-kebudayaan atau agama-agama di Afrika atau larangan atas praktik-praktik sekte keagamaan tertentu yang berhubungan dengan pemakaian obat narkotika atau bunuh diri sebagai jalan keselamatan.
Pembatasan lain atas kebebasan beragama dan berkepercayaan berangkat dari alasan-alasan untuk melindungi moral. Sebagai contoh, hampir semua agama mengenal tadisi pengorbanan. Ada bentuk-bentuk pengorbanan dari hasil pertanian seperti dijumpai pada masyarakat Tengger dan ada pula pengorbanan dengan mempersembahkan binatang ternak seperti dikenal dalam agama-agama monotheis Islam, Yahudi dan Kristen. Namun dalam beberapa kasus dijumpai pula beberapa kasus pengorbanan dengan mempersembahkan manusia. Dalam kasus terakhir, negara bukan saja memiliki hak, akan tetapi wajib ikut campur untuk melindungi hak hidup manusia sebagai bagian dari hak asasi yang fundamental. 
Terakhir pembatasan-pembatasan secara terukur dapat diberlakukan dengan maksud untuk melindungi hak-hak dan kebebasan fundamental orang lain. Misalnya, pembatasan atas proselytisme, diperlukan agar aktivitas misi atau dakwah agama-agama tidak melanggar hak dan kebebasan beragama orang lain yang menjadi sasaran. Pembatasan ini menggarisbawahi larangan melakukan pemurtadan secara paksa dan tekanan melalui kekuatan uang maupun politik dan militir. Pembatasan juga bermaksud agar kegiatan dan aktivitas misi tidak melampaui batas kewajaran sehingga membolehkan penghujatan atau penghinaan atas agama dan kepercayaan orang lain.  
Pembatasan-pembatasan di atas sesungguhnya bukan bertujuan untuk mengekang hak dan kebebasan beragama itu sendiri, namun lebih diarahkan sebagai upaya antisipasif dan preventif atas akses dan dampak laten yang sering kali tidak diharapkan dari manifestasi hak dan kebebasan beragama yang melampaui batas dan tidak bertanggung jawab.

Hidup bersama dalam masyarakat yang beraneka ragam baik dalam keyakinan maupun dalam beraneka ragam etnik dan budaya sangat membutuhkan pandangan dan sikap kritis terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain. Orang beriman umumnya atau muslim pada khususnya, perlu mengakui, menerima, bahkan merayakan perbedaan dan keragaman internal dalam dirinya sendiri. Mereka harus menolak dengan tegas mitos homogennya kehidupan. Masyarakat muslim, betapa pun hidup dan memiliki iman serta tingal bersama dalam masyarakat, tetap merefleksikan perbedaan dan keragaman sesuai dengan kecendrungan dan pilihan cara beragama masing-masing individu atau kelompok. 
Islam bukan fenomena tunggal, karena itu, agar hak untuk bebas beragama, memilih kepercayaan dan menjalankan agama dan kepercayaan dapat berjalan dengan baik maka masyarakat baik yang muslim maupun yang non muslim harus membuka jalan dialog. Karena dengan dialog semua pemahaman dan keragaman dalam masyarakat bisa berjalan dengan baik dan dapat terhindar dari pertikaian yang mengatasnamakan agama atau pun keyakinan serta dengan dialog dapat mengakui atas keragaman agama-agama dan kepercayaan. Tujuan utama pengakuan atas keragaman agama-agama atau kepercayaan itu sendiri bukan sekedar melahirkan sikap toleran terhadap orang lain, lebih dari itu adalah upaya proaktif menuju saling memahami.   

DAFTAR PUSTAKA 
Arifin, Syamsul, Studi Agama Perspektif Sosiologis Dan Isu-Isu Kontemporer (Malang: UMM Press, 2009).
Baidhawi, Zakiyuddin, Kredo Kebebasan Beragama (Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2005). 
Colbran, Nicola, “Tantangan yang dihadapi Masyarakat adat/bangsa Pribumi di Indonesia Dalam Mewujudkan Hak Kebebasan Beragama atau Berkepercayaan” (Makalah disampaikan pada kegiatan “Advanced Training Tahap I tentang Hak-Hak Masyarakat Adat bagi dosen Pengajar Hukum dan HAM” Yogyakarta, 21-24 Agustus 2007, diselenggarakan oleh Pusham UII bekerja sama dengan Norwegian Centre for Human Rights, Universtity of Oslo).  
Hasbi Ash Shiddieqy, TM, Islam Dan HAM (Hak Asasi Manusia) Dokumen Politik Pokok-Pokok Pikiran Partai Islam Dalam Sidang Konstituente 5 Februari 1958 (Semarang: Pustaka Riski Putra, 1999).
Kamil, Syukron dan Chaider S. Bamualim, Syariah Islam dan HAM: Dampak Perda Syariah Terhadap Kebebasan Sipil, Hak-Hak Perempuan dan Non-Muslim (Jakarta: CSRC-UIN Jakarta, 2007) 
Madjid, Nurcholis, Cita-Cita Politik Islam Era Informasi (Jakarta: Paramadina, 1999)
Maarif, Ahmad Syafii, “Review Shariah by Laws, Say Scholars” (The Jakarta Post, 1 Maret 2008)
 Ahmad Syafii Maarif, “Syariat Islam Yes, Syariat Islam No: Dilemma Piagam Jakarta Dalam Amandemen UUD 1945 (Jakarta: Paramadina, 2001) 
Mulia, Siti Musdah, “Menuju Kebebasan Beragama di Indonesia”. Dalam Bayang-Bayang Fanatisme: Esai-Esai Untuk Mengenag Nurcholish Madjid (Jakarta: Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadinah, 2007).

Komentar